Amazon River Rating Bintang 1, Balasan Netizen Indonesia?
Aksi netizen Indonesia beri Amazon River rating bintang 1 mendadak viral di jagat maya. Lantas apa yang sebenarnya terjadi? Benarkah bentuk balasan atas kejadian di Gunung Rinjani?
Pernah kebayang nggak, Amazon River dapat rating bintang 1 di Google Maps? Yap, kejadian ini beneran viral dan jadi bahan pembicaraan super panas di media sosial (medsos).
Netizen Indonesia ramai-ramai kasih ulasan buruk ke Sungai Amazon, lengkap dengan komentar satir, sampai nyeleneh. Tapi, sebenarnya apa sih yang bikin Amazon River jadi sasaran?
Usut punya usut, aksi ini bukan tanpa alasan. Semua bermula dari kasus pendaki asal Brasil yang meninggal dunia di Gunung Rinjani, Lombok. Tim SAR pun berupaya melakukan langkah evakuasi.
Setelah insiden itu, banyak netizen Brasil yang menyerbu Google Maps dan memberi rating bintang 1 untuk Gunung Rinjani sebagai bentuk protes. Nah, netizen Indonesia pun membalasnya.
Tindakan netizen Indonesia memberi Amazon River rating bintang 1 ini membuka diskusi baru soal budaya digital, review online, dan bagaimana ulasan di internet bisa berubah jadi senjata dalam konflik.
Melalui artikel ini, Candi.id bakal mengupas lengkap kronologi, isi komentarnya, dan apa dampaknya untuk citra wisata dunia usai kejadian yang membuat gempar jagat maya ini.
Kenapa Amazon jadi Sasaran? Gimana awal mulanya? Begini ceritanya yang berhasil dihimpun. Antara lain:
- Warganet Brasil marah karena proses evakuasi Juliana di Rinjani dianggap lambat.
- Mereka kemudian membanjiri peta digital Gunung Rinjani dengan rating 1 dan komentar protes.
- Netizen Indonesia lalu ‘membalas’ cukup fans sekali konsepnya. Amazon jadi target pilihan karena bisa dianggap simbol alam di luar Indonesia.
- Selama beberapa hari terakhir, akun-akun Indonesia terus memberikan rating bintang 1 di Google Maps “Hutan Amazon” .
Lalu pertanyaan pentingnya: apakah ini cuma prank netizen atau suatu bentuk protes digital yang serius? Media maisntream di Tanah Air mencatat rating bintang 1 ini muncul sejak 29 Juni 2025 .
Di sisi lain, meski diserbu rating buruk netizen Indonesia, Amazon masih memiliki rating rata-rata 4,0 dari lebih 12.000 ulasan. Aksi rating ini nggak cuma sekadar klik 1 bintang saja. Banyak komentar kocak bercampur sentimen satir:
- “Di Amazon banyak anakonda dan siluman ular. Jangan kesini.” – She CW (Google Maps)
- “Banyak nyamuk, gak ada nasi Padang.” – komentator anonim.
- “Gak usah kesini, temen temen bahaya.” – netizen lain
Beberapa komentar juga menyindir situasi Gunung Rinjani atau menyoroti konflik rating sebagai bentuk protes budaya digital. Media di Indonesia mencatat bahwa komentar tersebut muncul dalam bahasa Indonesia dan berunsur sarkasme .
Fenomena ini bukan sekadar kehebohan online. Ada beberapa dampak dan pelajaran penting, antara lain:
- Citra Destinasi Wisata
Walaupun rating buruk ini dilakukan oleh banyak akun tak berkaitan langsung, tetap bisa memengaruhi persepsi publik mengenai Amazon, terutama calon wisatawan. - Ulasan Online Sebagai Protes
Ini bukan protes politik, tapi bentuk ekspresi digital yang memanfaatkan fitur publik (Google Maps) untuk mengkomunikasikan ketidakpuasan, dalam hal ini pembelaan terhadap kejadian di Rinjani. - Etika dan Efektivitas
Apakah memberi rating buruk efektif menyampaikan pesan? Banyak pihak mengatakan cara ini malah bikin isu orang lain jadi ‘korban’ tanpa solusi nyata. - Kontrol Platform
Google Maps punya tanggung jawab untuk memantau ulasan palsu atau yang bertujuan mengganggu. Ini jadi sinyal penting bagi platform digital agar lebih teliti terhadap review yang diwarnai sentimen geopolitik.
Beberapa pengguna media sosial memberikan sudut pandang unik:
“Rencana tahun depan mau datang bawa bibit pohon kelapa,” tulis salah satu akun, dalam nada protes dan juga bercanda.
Ada juga yang mengkritisi tren rating ini:
“Aksi ini bikin tidak relevan, Amazon tetap akan dikunjungi, rating kembali normal,” komentar seorang pengguna dalam thread X (Twitter) (tidak disebutkan).
Fenomena Amazon river rating bintang 1 dari Netizen Indonesia ternyata lebih dari sekadar rating jelek. Ini adalah ekspresi digital, refleksi budaya ekspresi kolektif di era media sosial dan review online.
Meski viral, tindakan seperti ini perlu dikaji ulang, apakah bertujuan adil dan relevan? Atau malah merusak citra alam dan platform teknologi tanpa hasil konkret? (Dila Nashear)